Sukses


Mana Lebih Untung, Jadi Flipper atau Agen Properti?

Flipper dan investor properti sekilas tampak sama. Padahal, secara prinsip keduanya punya perbedaan yang cukup mendasar. Apa saja?

Liputan6.com, Jakarta Istilah flip properti di Indonesia mungkin belum begitu familiar. Tetapi, di luar negeri seperti Amerika Serikat berbisnis properti dengan cara fliping atau membalikkan transaksi dari seorang pembeli menjadi penjual properti ternyata cukup tren di kalangan masyarakat umum.

Flipper, pegiat bisnis flip properti ini merupakan masyarakat umum atau pedagang di dalam properti yang mendapatkan pinjaman KPR/KPA dari bank.

Dengan pinjaman tersebut, mereka mencari properti dengan harga miring. Mungkin karena pemilik yang butuh uang cepat atau ingin cepat-cepat menjual rumahnya karena akan pindah ke luar kota.

Karena harganya yang miring, maka flipper punya selisih harga beli dengan harga pasaran yang cukup besar. Sebagai contoh ia membeli rumah seharga Rp1 Miliar, padahal harga pasarannya Rp1,5 Miliar.

Dengan menjualnya di harga Rp1,2 Miliar 1,25 Miliar, rumah tersebut bisa terjual dalam waktu cepat karena masih tetap berada di bawah harga pasar. Sementara keuntungan yang didapat sudah cukup besar, sekitar Rp200 Juta-Rp250 Juta.

Mengulik cara bisnis flip properti tersebut, Dadank Sugiharto, Agen Properti dari Wyndham Realty mengungkapkan bahwa saat ini flip properti belum tepat dijalankan di Indonesia, meskipun dulu mungkin masih bisa dijalankan.

“Alasan dasar adalah karena kondisi properti saat ini sedang stagnan atau berhenti. Sehingga, cukup beresiko untuk mendapatkan perputaran uang dengan cepat. Perlu diingat, modal berasal dari bank, sehingga akan berkaitan juga dengan inflasi dan bunga,” papar Dadank yang dikutip dari laman www.rumah.com, Rabu (20/4/2016).

Kendati kondisi perkembangan properti tidak menunjang bisnis flip properti di Indonesia, bukan berarti flipper tidak bisa diterapkan di sini.

Menurut Dadank, hanya flipper yang mau kerja keras, bermental baja, dan memiliki akselarasi tinggilah yang bisa bertahan di bisnis seperti ini.

Artinya, flipper dituntut untuk megimbangi agen properti yang jauh lebih kompeten dalam hal analisis pangsa pasar.

“Jika ingin menjadi flipper yang berhasil, dia harus lebih pintar dari agen properti, khususnya target market,” katanya.

“Minimal dia bisa memetakan 5-10 agen dalam wilayah berbeda dan mulai memetakan untuk menyimpulkan tawaran harga,” tambah Dadank.

Persaingan juga kian ketat, karena pemilik rumah yang BU lebih tertarik dengan tawaran agen properti.

Biasanya, agen properti menawarkan lebih dari satu calon pembeli dengan kategori yang berbeda, baik investor, end user, atau bahkan flipper itu sendiri.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Flipper berbeda dengan investor

Jika dilihat dari cara berbisnisnya, flipper sekilas serupa dengan investor properti. Namun ternyata, ada beberapa perbedaan.

Kebanyakan flipper adalah pebisnis yang memiliki modal terbatas. Sehingga sangat mengandalkan pinjaman KPR/KPA dari bank.

Modal yang terbatas tadi diharapkan dapat memberikan keuntungan yang besar. Waktu penjualan properti juga terbilang singkat, sekitar 2 bulan-4 bulan.

Sedangkan investor, menjalankan pola bisnis yang berbeda. Kebanyakan investor membeli properti untuk rentang waktu yang lebih lama yakni minimal 3 tahun.

Biasanya, mereka tak keberatan membeli sesuai harga pasaran karena yang dilihat bukanlah selisih harga beli dengan harga pasar saat itu, melainkan prospek kenaikan harga perumahan tersebut dalam beberapa tahun ke depan.

Dari sini, seorang investor tidak hanya membutuhkan modal yang lebih besar, tetapi juga kemampuan analisa lokasi yang mendalam. Misalnya, bagaimana perkembangan infrastruktur dalam beberapa tahun ke depan, prospek pembangunan kawasan komersial, dan aksesnya.

Jika flipper lebih sulit mendapatkan obyek investasi (karena tak terlalu banyak orang menjual rumah di bawah harga pasaran), maka investor bisa mendapatkannya dengan lebih mudah, karena membeli dengan harga pasaran.

Berbeda dengan investor, flipper identik dengan spekulan. Bagi flipper, yang penting perputaran uang cepat kembali, dan segera disetorkan kembali kepada pihak bank.

Bagi investor, keuntungan membeli properti berpotensi memberikan dua keuntungan yang menggiurkan dalam waktu lama.

Pertama, adalah kenaikan harga setelah beberapa tahun, biasa disebut dengan capital gain. Kedua, sembari menunggu kenaikan harga, rumah tersebut bisa disewakan untuk mendapatkan pemasukan berkala.

Menurut Dadank, karena perkembangan properti yang terbilang fluktuatif, tidak sedikit flipper yang beralih profesi menjadi agen properti.

Atau bahkan ada juga yang menjalin kerja sama dengan para agen properti untuk sama-sama memberikan rekomendasi rumah yang berpotensi menawarkan harga rendah.

“Tapi kembali lagi memang kepada individu itu sendiri, baik flipper maupun agen properti, sudah seharusnya menguasai pasar properti yang hendak jajakan, meskipun keduanya memiliki resiko yang berbeda,” tambah Dadank.

Feature picture: pixabay.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Video Terkini